Buletin At Tauhid Edisi 10 Tahun X
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, satu-satunya Rabb yang berhak untuk diibadahi, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam, beserta keluarganya, para shahabatnya, dan orang-orang yang selalu mengikuti mereka hingga hari akhir.
Kaum muslimin yang di muliakan oleh Allah Ta’ala, di antara hal yang menjadi tujuan di ciptakannya kita ke dunia adalah supaya kita senantiasa beribadah hanya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk beribadah hanya kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56). Oleh karena itu, kita hendaknya benar-benar memperhatikan masalah ibadah serta mengetahui unsur-unsur yang menjadikan ibadah kita menjadi baik dan benar.
Definisi ibadah
Secara bahasa, ibadah adalah merendahkan diri dan tunduk . Orang arab berkata, “thariqul mu’abbad”, artinya jalan yang sudah di tundukkan (dirintis) yang dipersiapkan untuk di tempuh manusia. (Hushulul ma’mul bi syarhi tsalatsatil ushul, hal. 42).
Adapun dari segi istilah,“ibadah adalah sebuah istilah untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir maupun yang bathin” (Al ‘Ubudiyah, hal 38)
Luasnya makna ibadah
Di dalam syari’at islam, ibadah mempunyai makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada hubungan kita kepada Allah Ta’ala saja. Akan tetapi yang berkaitan dengan aktifitas keduniaan dan hubungan dengan sesama makhluk juga bisa bernilai pahala di sisi Allah Ta’ala. Dalam hal ini ibadah di bagi menjadi dua bagian :
[1] Ibadah mahdhoh (Murni ibadah)
Yaitu perbuatan yang dilakukan manusia dengan motivasi pokok untuk mendapatkan manfaat di akhirat, misalnya : shalat, puasa, dzikir, haji, do’a, dan lain sebagainya dari ibadah yang kita kenal.
Ibadah mahdhoh ini hukum asalnya adalah terlarang, sampai ada dalil yang memerintahkan kita untuk mengerjakannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits dariIbunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim)
Ibadah mahdhoh mempunyai dua syarat agar diterima oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya,”Dua hal ini merupakan dua syarat diterimanya amal ibadah,[1] haruslah berupa ibadah yang ikhlas untuk Allah dan [2] benar yaitu sesuai syari’at yang di tuntunkan oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam” (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 3/57)
Sehingga tidak diperbolehkan bagi kita untuk mengerjakan hal-hal ibadah mahdhoh ini tanpa landasan dalil syari’at, seperti melakukan jenis shalat tertentu, puasa-puasa, maupun bentuk bentuk dzikir dan wirid yang tidak ada tuntunan dan tata cara dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, walaupun hal tersebut berasal dari peninggalan leluhur yang sangat kita hormati atau pendapat kiyai yang sangat kita kagumi.
[2] Ibadah ghoiru mahdhoh (Bukan murni ibadah)
Yaitu perbuatan yang dilakukan manusia dengan motivasi pokok untuk mendapatkan manfaat di dunia, misalnya bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga, tersenyum kepada orang lain, tolong menolong terhadap sesama, berbuat baik kepada orang tua dan tetangga, jual-beli, mengkonsumsi makanan, dan lain sebagainya.
Ibadah ghoiru mahdhoh ini hukum asalnya adalah boleh dilakukan, sampai ada dalil yang melarang kita untuk melakukannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),“Dialah yang menciptakan untuk kalian semua segala sesuatu yang ada di muka bumi.” (QS. Al Baqarah : 29)
Ibadah ghoiru mahdhoh bisa bernilai pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala jika perbuatan tersebut mubah dan bukan perkara yang dilarang syari’at lalu kemudian kita meniatkannya sebagai ketaatan kepada Allah Ta’ala dan wasilah (perantara) menuju ibadah. Sebagaimana dalam hadits, “Sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung dari niatnya, dan ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang di niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Misalnya, kita bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga dengan niat untuk menunaikan kewajiban dari Allah Ta’ala kepada kita sebagai kepala keluarga, atau kita berbuat baik dan bersikap lemah lembut kepada keluarga dan tetangga serta berbakti kepada kedua orang tua dengan niat karena taat kepada Allah Ta’ala., Demikian pula jika kita mengkonsumsi makan dan minum dengan niat agar tetap kuat sehingga bisa senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan lancar, maka hal-hal tersebut akan bernilai pahala dan ibadah di sisi Allah Ta’ala.
Akan tetapi lain halnya jika kita melakukan hal-hal tersebut hanya semata-mata kebiasaan saja dan tidak meniatkan agar mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti mencari nafkah hanya agar punya uang banyak, berbakti kepada orang tua hanya karena sudah menjadi adat dan tradisi di masyarakat anak itu berbakti, atau seseorang yang berbuat baik kepada tetangga semata-mata agar tidak di cela oleh masyarakat, termasuk juga makan dan minum hanya semata-mata agar kenyang, maka hal yang demikian tidak mendapatkan pahala di sisi Allah Ta’ala.
Rukun ibadah
Ibadah seorang hamba harus dibangun di atas tiga rukun, yang ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam diri setiap muslim. Ibadah seseorang tidaklah akan benar dan sempurna kecuali dengan adanya rukun-rukun tersebut. Tiga hal itu adalah “cinta, takut, dan harap”. Maka seorang hamba harus menghadirkan ketiga rukun ini, yaitu cinta, harap, sekaligus takut di dalam setiap ibadahnya, jika hilang salah satunya maka ibadahnya menjadi tidak sempurna. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (para nabi dan orang-orang shaleh yang diseru oleh orang-orang kafir) juga berharap dengan mencari wasilah (amal shalih) agar dapat dekat kepada Allah Ta’ala, (saling berlomba) mana diantara mereka yang paling dekat kepada-Nya dan mereka juga berharap rahmat Allah dan mereka juga takut akan adzab Allah. Sungguh adzab Tuhanmu memang harus ditakuti.” (QS. Al Israa’ : 57)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Si’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas, “Cinta, harap, dan takut merupakan tiga karakter yang disifatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada diri orang orang shaleh yang dekat dengan-Nya. Tiga hal ini merupakan pondasi sekaligus inti segala kebaikan. Apabila sempurna ketiganya, maka sempurna pula kebaikannya. Apabila tiga hal ini tidak ada dalam hatinya ketika melaksanakan ibadah, maka berkurang pula, atau bahkan lenyap nilai kebaikan darinya dan dia akan di lingkupi dengan kejelekan”. (Taisirul Karimir Rahman, hal.435)
Berharap surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan
Sebagian kaum muslimin memiliki keyakinan bahwa mengharap surga dan pahala, serta takut akan dosa dan masuk neraka akan mengurangi keikhlasan. bahkan di antara mereka ada yang berkeyakinan bahwa orang yang tidak takut akan siksa dan neraka serta tidak mengharap surga dalam setiap ibadahnya merupakan tanda semakin ikhlas hatinya dan semakin tinggi kedudukannya. Keyakinan yang demikian ini adalah keyakinan yang tidak tepat. Hal ini bisa di tinjau dari dua sisi :
[1] Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kita untuk meminta surga yang tertinggi, sebagaimana dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Apabila kalian meminta (berdoa) kepada Allah, maka mintalah Firdaus yang tertinggi. Sesungguhnya ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi” (HR. Bukhari)
[2] Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang merupakan manusia paling bertaqwa, manusia yang paling tinggi tingkatannya, pun berdo’a kepada Allah dengan do’a (yang artinya), “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka” (HR. Abu Dawud)
Dan juga hadits, “Sesungguhnya do’a yang sering diucapkan Nabi adalah :“Rabbanaa aatinaa fiddunyaa ḥasanah wa fil aakhirati ḥasanah wa qinaa ‘adzaabannaar” (Wahai Tuhan Kami karuniakanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka)” (HR. Bukhari)
Maka yang benar adalah rasa harap akan surga dan takut akan neraka tidaklah mengurangi keikhlasan seseorang, bahkan hal itu yang merupakan perkara yang di tuntunkan oleh syari’at dan di cintai oleh Allah Ta’ala dan menjadi penyempurna dalam setiap ibadah dan do’a kita.
Demikianlah penjelasan tentang ibadah yang kita lakukan, hendaknya dilandasi dengan ilmu dan niat yang benar, sesuai dengan tuntunan syari’at serta dilandasi dengan rasa cinta, harap, dan takut, agar kita bisa menjadi seorang mukmin yang sempurna. Wallahu a’lam.
Penulis : Nizamul Adli Wibisono